(0232) 875847 [email protected]

Memulai Semester Genap Tahun Akademik 2016/2017 hari ini Senin, 20 Februari 2017 sejak pukul 10.00 s.d. 12.30 WIB telah diselenggarakan KULIAH PAKAR bagi mahasiswa program studi kebidanan tingkat 1 dan 2 bertempat di Ruang Seminar STIKKU. Kuliah Pakar kali ini menghadirkan 2 orang narasumber yaitu Dr. Hj. Soeryani Soepardan, MM dan Ketua PC IBI Kabupaten Kuningan Ibu Widyani, A.Md.Keb. S.KM. S.Sos. dengan tema “Upaya Pencegahan Neglicence dan Medical Error dalam Pelayanan Kebidanan”. Acara ini diikuti oleh 160 orang mahasiswa dan para dosen tetap Program Studi Kebidanan STIKes Kuningan. Dalam sambutan pembukaannya Ketua STIKKU Asep Sufyan Ramadhy menjelaskan bahwa sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dan budaya akademik yang telah lama dikembangkan STIKKU, maka setiap awal semester harus diawali dengan Kuliah Umum atau Kuliah Pakar. Untuk kuliah umum bisa disampaikan materi-materi yang bersifat generik (interdisipliner atau bahkan multidisipliner), sedangkan untuk kuliah pakar maka materi yang disampaikan harus bersifat spesifik yang sesuai dengan capaian pembelajaran (learning outcome) yang telah ditetapkan program studi. Nah, pada semester ini kebetulan isu yang diangkat adalah berkaitan dengan keselamatan pasien (patient safety), khususnya dalam upaya pencegahan kelalaian (neglicence) dan kesalahan/kekeliruan (error) yang sangat mungkin terjadi saat seorang bidan melakukan pelayanan kebidanan. Melalui kuliah pakar ini, mahasiswa kebidanan STIKKU diharapkan mampu memiliki kesadaran hukum dan lebih menghayati lagi kode etik bidan Indonesia. Apabila seorang bidan senantiasai melakukan tindakan profesionalnya berdasarkan kode etik yang berlaku di profesinya termasuk melaksanakan berbagai standar pelayanan kebidanan yang telah ditetapkan, maka peluang bidan untuk berhadapan dengan masalah-masalah hukum itu sangat kecil kemungkinannya. Pelanggaran hukum biasanya diawali dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai moral yang kemudian berdampak pada perilaku profesionalnya.

Dr. Soeryani Soepardan dalam pemaparannya menjelaskan pentingnya seorang bidan menguasai kompetensinya serta mampu menjalankan kewenangannya sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam UU dan peraturan lainnya yang mengatur tentang praktik kebidanan. Penguasaan standar kompetensi ditunjukkan dengan diperolehnya Sertifikat Kompetensi setelah lulus dari institusi penyelenggaran pendidikan kebidanan berdasarkan hasil Uji Kompetensi Bidan Indonesia (UKBI). Disamping ijazah yang dikeluarkan institusi pendidikan, seorang bidan juga harus mengantongi Sertifikat Kompetensi sebagai syarat untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui penerbitan Surat Tanda Registrasi (STR). Jika seorang bidan sudah memiliki STR, artinya dia sudah diberikan kewenangan berdasarkan UU dan peraturan yang berlaku untuk memberikan pelayanan kebidanan di seluruh wilayah di Indonesia. Tentu saja seorang bidan tidak boleh merasa cukup dengan kompetensi yang dimilikinya sampai jenjang Diploma III, namun seyogyanya bidan diharapkan bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Diploma IV, Profesi Bidan, S2, bahkan S3 Terapan. Di luar jalur pendidikan formal, bidan juga diharuskan mengikuti pendidikan bidan berkelanjutan yang dilaksanakan secara rutin oleh organisasi profesi khususnya dalam rangka memutakhirkan pengetahuan dan keterampilan yang terus berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kebidanan itu sendiri. Selain kompeten, bidan juga sangat perlu memiliki kesadaran dan kepekaan terhadap persoalan hukum. Bagaimana pun juga di tengah masyarakat yang semakin kritis, maka seorang bidan harus mampu menjadi performa pribadinya agar dalam memberikan pelayanan kebidanan sesuai dengan standar pelayanan, SOP dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Walaupun bidan belum memiliki UU tersendiri seperti perawat dokter dan apoteker, namun PP IBI saat ini sedang berjuang agar RUU Kebidanan bisa segera dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Saat ini bidan masih berlindung dibalik UU Tenaga Kesehatan yakni UU Nomor 36 Tahun 2014, Permenkes 1464 Tahun 2010, Kepmenkes No. 369/2007 dll.

Ketua PC IBI Kabupaten Kuningan, bu Widyani, S.KM. S.Sos. juga memperkuat bahwa seiring dengan perkembangan yang ada organisasi profesi dalam hal ini Ikatan Bidan Indonesia berperan sebagai wadah tempat berhimpun para bidan seluruh Indonesia. Di Kabupaten Kuningan sendiri ada sekitar 800 orang lebih bidan yang teregistrasi sekaligus menjadi anggota IBI dari 12 ranting yang ada. IBI tentu sangat berkepentingan dalam menjaga mutu dan profesionalitas para bidan agar terhindar dari masalah-masalah hukum. Yang selalu kami ingatkan adalah kewenangan bidan yaitu hanya diperbolehkan memberikan pelayanan dalam ruang lingkup Kesehatan Ibu dan Anak. Di luar itu, tentu bukan kewenangan bidan sehingga jika ada yang nekad memberikan pelayanan kesehatan maka tentu hal tersebut termasuk tindakan kelalaian (neglicence). UU Kesehatan Nomor 36/2009 sendiri memang membolehkan tenaga kesehatan di luar dokter memberikan pelayanan kesehatan umum, dengan syarat yang sangat ketat jika di daerah tersebut tidak ada dokter sama sekali contoh di wilayah sangat terpencil, terluar dan perbatasan wilayah Indonesia dengan negara tetangga misalnya, itu pun hanya diperbolehkan melakukan tindakan penyelamatan saja dalam situasi gawat darurat. Di luar itu, jelas bukan kewenangan bidan. Nah sementara itu untuk tindakan error siapapun bidan memiliki peluang untuk melakukan tindakan error, hanya saja tindakan ini tidak termasuk ke dalam tindakan neglicence yang pada umumnya bertentangan dengan hukum positif itu sendiri, namun error itu bisa dicegah dan diperbaiki dengan kebijakan manajemen rumah sakit yang lebih manusiawi misalnya. Stres, kelelahan fisik, beban kerja yang berat, lingkungan kerja yang tidak nyaman, adalah faktor-faktor yang bisa berkontribusi terhadap kejadian error, namun tentu hal tersebut masih sangat bisa diperbaiki dan dicegah.